Wednesday, November 18, 2015

Kamu pikir, kamu siapa? Seenaknya datang lalu tiba-tiba pergi begitu saja. Meninggalkan luka yg menganga. Ah, percuma. Kau mana tahu rasanya luka.

Dua bulan berlalu dan aku masih memikirkanmu. Menapaki jejak-jejakmu di kota ini. Menyusuri jalan-jalan setapak yg sering kau lalui, atau bahkan meminum kopi di sudut kafe yg sering kau kunjungi.
Aku mulai menyukai kegiatan ini. Rasanya seperti mengulang-ulang segala sesuatu yg kita lakukan dulu. Dan rasanya kamu masih disisiku.
Kau tahu? Aku sebenarnya benci ketika kau pergi. Aku selalu ditanya tentangmu oleh semua orang. Aku tak tahu harus menjawab apa. Dan akhirnya hanya bisa kujawab dengan senyum tipis dari bibirku, meski hal itu selalu berakhir dengan tangisan kala aku sendirian.
Oiya, kau ingat bunga matahari yg kau berikan padaku dulu? 4 minggu lalu ia berbunga. Indah.
"Bunga matahari ini pasti akan seindah kamu kalau udah mekar." Katamu dulu.
Percuma. Kata-kata itu tak akan ku dengar lagi.
Dua minggu yg lalu, aku pulang ke rumah. Ada salam rindu untukmu, dari ibuku. Kau ingat? Kau paling suka mencium aroma kopi yg baru ditumbuk oleh ibuku. Kau bilang "ini aroma kopi yg paling harum yg pernah kutemukan." Kau pintar sekali mengambil hati ibuku.
Aku juga pergi ke sawah belakang rumah. Padi disana mulai menguning. Kau dulu selalu bilang, "Suatu hari nanti, aku ingin menjadi petani. Tinggal di desa, dan menanam padi di sawah kita." Ada kata kita dikalimatmu. Ah, aku mulai menghayal tentang masa depan kita.
Tentang sebuah rumah sederhana dengan halaman yg luas. Dengan dua anak yg selalu ceria. Aku benar-benar merindukanmu.
Anw, bagaimana kabarmu sekarang? Dimanapun kamu, aku ingin bertemu. Melepas rindu yg membelenggu.
Minggu lalu setelah aku pulang, aku mampir ke kosanmu. Aku bertemu pak Torro. Dia masih saja sibuk dengan burung-burung peliharaannya. Dia juga bercerita panjang lebar tentang kamu. Tentang kebiasaanmu yg selalu menyeduh kopi di teras kosan sambil membaca koran yang hari terbitnya sudah berhari-hari lewat.
"Biar terlihat intelect, pak." Sahutmu ketika pak Torro menanyaimu tentang kebiasaanmu itu.
Pak torro juga bercerita. Ia pernah mencicipi kopi buatanmu, sekali. Ia bilang ia tak mau lagi memintanya. Katanya kopimu sangat pahit. Seperti tak diberi gula. Kamu kan memang tak suka gula.
Katamu,"Aku gak perlu gula, toh ada kamu yg jadi gulaku." Kau memang pintar menggombal, Mas.
Lalu sorenya, setelah dari kostmu. Aku pergi ke warung bu Roni. Membeli makanan kesukaanmu. Sepiring nasi pecel, sepotong hati ayam, tempe, dan rempeyek. Rasa masakan bu Roni masih sama enaknya dengan saat pertama kali kau ajak aku kesana.
"Loh. Tumben sendirian neng. Mas Sakanya gak diajak?" Hatiku terasa dihantam batu besar.
 "Enggak bu." Aku tersenyum.
Tiba-tiba air mataku menetes. Mengingat lagi semua tentangmu. Tentang kita. Tentang tempat yang sering kita kunjungi bersama. Tentang kebiasaan yg sering kita lakukan bersama. Ah, aku makin merindukanmu.
Kau punya janji yg belum kau tepati, mas. Katanya kau akan mengajakku melihat indahnya danau Ranu Kumbolo. Melihat indahnya Indonesia. Kau jahat, mas. Kau pergi tanpa menepati janjimu. Aku membencimu. Isak tangisku makin kencang saat aku ingat terakhir kali aku menemuimu.
Katamu,"Aku benar-benar ingin menghabiskan masa hidupku sama kamu. Menghabiskan masa tua kita bersama. Meski aku sekarang belum punya apa-apa, aku janji bakal bahagiain kamu. Nggak bikin kamu nangis melulu. Biar nggak cengeng." Katamu mencibir.
"Kapan aku cengeng? Aku kan nggak pernah nangis." Aku menggodamu.
"Haa? Yakin nggak pernah nangis? Noh, kapan hari siapa ya yang matanya bengkak pagi-pagi?"
"Itu bukan karena nangis, mas." Aku masih saja membela diri.
"Iya iya, bukan nangis melainkan disengat lebah. Hahaha. Aww" Kucubit keras dipinggangmu. Kau hanya meringis.
"Sakit tau, dicubit. Sini gantian."Aku lari menghindarimu sambil tertawa.
Kau memang selalu menyebalkan, tapi aku menyukaimu. Selalu.
Oiya mas, aku lupa memberitahumu. Aku sudah dapat pekerjaan. Di sebuah perusahaan asing, tambang minyak.
Kau ingat? Jika aku dapat pekerjaan, kau berjanji akan mengabulkan satu permintaanku. Jika kau ingin tahu, pintaku cuma satu, mas. Tetaplah di sisiku. Bersamaku, hingga kita tua. Hanya itu. Iya,  hanya itu mas. Tetaplah disini. Aku semakin menangis menjadi. Dadaku sesak. Aku mengingat-ingat lagi kata terakhirmu malam itu. 
"Aku ingin pulang, Nan. Aku merindukanmu. Benar-benar rindu. Nggak tau kenapa, aku pengen peluk kamu. Aku mencintaimu, Nan. Selalu"
Dan kamu memang benar-benar pulang mas, pulang dengan wajah pucat, berbalut kain putih, dan suara sirine ambulance yang mengaung. Kamu pulang tanpa memberi pelukan untukku. Kau jahat, mas. Tapi aku mencintaimu. Selalu.

Monday, October 5, 2015

Oh.

"Mana ada orang yg tahan melihat kekasihnya berduaan dengan seorang gadis cantik di dalam sebuah ruangan?"
Seruku tanpa melihat matanya.
"Dia itu bawahanku. Aku tak pernah ada main dengan orang lain."
"Ah. Selama ini memang tak pernah. Tp bisa jadi kan? Lagipula dy gadis yg cantik. Mana ada laki-laki yg tak menginginkan dy?" Sergahku padanya.
"Ah, kau ini sebenarnya cemburu padaku atau cemburu pada kecantikan gadis itu?" Skak mat.
Aku mulai berfikir ttg kecemburuanku. Biasanya aku tak pernah peduli jika kekasihku berduaan dengan wanita. Tp kali ini rasanya berbeda. Wanita itu begitu cantik. Begitu polos. Ah andai aku bisa seperti dy.
"Tidak, aku tk pernah cemburu pada kecantikannya." Aku menutupi sebuah kebohongan.
"Kau tahu? Secantik apapun dy. Aku tak akan pernah tergoda. Meski kamu tak seperti dy. Aku bahagia memilikimu. Aku bahagia menjalani hidup kita. Aku bahagia karena kamu selalu ada buatku" Satu kecupan mesra mendarat di keningku.
Ah, aku benci diperlakukan seperti ini.
"Nggak ngambek lagi kan? Ayok. Aku kenalin sama mama. Mumpung mama ada dirumah." Dan ini pertama kalinya aku bertemu dengan ibunya.
"Ma, kenalin. Ini temenku."
"Oh, temennya Seno? Siapa namanya?"
"Eza, tante. Fahreza."

Thursday, February 12, 2015

A Lemon Night

Sudah hampir satu jam aku di kamar ini. Bersamanya, di malam tepat 8 bulan setelah kami memutuskan berkomitmen untuk sesuatu yg lebih serius.
Kulihat dia, dengan wajah serius sedang berkutat dengan komputernya. Dengan setumpuk kertas yg masih tergeletak disamping meja kerjanya. Katanya masih ada pekerjaan menumpuk yg harus ia kerjakan. Dia membuka lembar demi lembar kertas yg menumpuk tadi, dibaca, lalu jemarinya mulai bergerak diatas keyboard komputernya, berkali-kali. Dan dia mengacuhkanku.

Kualihkan pandanganku ke rak buku yg ada di samping meja kerjanya. Kutelusuri jajaran buku disana, berharap ada buku menarik yg bisa kubaca.

Ah, aku benar2 tak tertarik membaca satu bukupun. Tak ada novel romantis, tak ada komik yg berjajar, atau mungkin beberapa buku tentang psikologi. Yang kulihat hanya sederet buku nasionalisme, buku tentang keuangan maupun buku kewirausahaan. Aku benar-benar bosan menunggu.

Aku mencari perhatiannya.
Kukatakan aku lapar. Dia hanya bilang, "Kalau lapar, makan, sayang. Di depan ada yg jualan bakso. Uangnya ada di dompet di atas lemari" Tanpa melepaskan pandangan dari komputernya.

Lalu, ku gulingkan badanku ke kiri dan kanan. Dan dia bilang.
"Ngapain? Kalau mau tidur, tidur yg bener." Dia masih saja tak melihatku.

"Aku ingin kamu. Aku ingin pelukan." Jeritku dalam hati.

Lalu, ku coba memutar lagu-lagu kesukaannya. Dia tetap tak bergeming. Jemarinya masih sibuk menari diatas keyboard, dan matanya masih tetap lekat memandang layar komputer.
Aku bosan. Lalu kupeluk ia dari balik punggungnya. Tangan kirinya memegang tanganku yg melingkar di pinggangnya. Sedangkan tangan kanannya masih saja menelusuri keyboard.

Dia mencium pipi kananku. Dia bilang, " i'll finish my work then I am yours, okay dear?" Katanya untuk membujukku yg dari tadi hanya cemberut.

"Okay. Do it quickly." Kataku akhirnya. Pasrah.

Setengah jam berlalu, belum terlihat jika pekerjaannya akan selesai.
45 menit kemudian. Lalu satu jam. Ah. Aku benar-benar tak tahan.

"Ngapain tadi minta aku kesini kalo kamu cuma berkutat sama komputermu." Kataku sinis.
"Udah dua jam aku disini dan kamu masih aja memandangi layar itu. Aku bosan." Kuberi penekanan pada kata bosan.
"At least ajak aku bicara. Kalo emang kamu mau fokus nyelesain pekerjaanmu dan tak ingin diganggu, jangan ajak aku kesini. Kamu tahu kan aku bosan kalo nggak ada yg bisa aku kerjakan. Lebih baik aku pu..."
Kalimatku menggantung. Bibirnya sudah menyentuh bibirku, tepat ketika aku mengatakan bahwa aku ingin pulang.

"Maaf karena sudah mengabaikanmu malam ini." Lalu ia memelukku. Erat.
Dia mencium keningku. Ah, aku tahu dia tak ingin aku pulang.

"I've finished my work. Then?"
"You're mine."
Lalu dia kembali mencium bibirku. Kali ini lebih terasa lembut dan hangat.

"If you didn't finish your work, I planned to kill you" kataku padanya yg memandangiku dengan senyum di bibirnya.

"Kalo kamu bunuh aku, siapa yg mau nyuekin kamu? Siapa yg mau meluk kamu kalo lagi nangis? Yg beliin kembang gula?"
Dia melirikku sambil memainkan alisnya naik turun, menggodaku.
"Nyebelin."

Dan kami menghabiskan malam itu berdua, dengan aroma lemon didalam kamarnya.

Friday, November 28, 2014

Seperti Roket

Bukankah sakit? Ketika kau mulai menyukai seseorang lalu mendapati Ia telah berkasih. Lebih memilih orang lain tanpa peduli perasaanmu.
Tapi memangnya aku siapa? Hingga ia harus tahu perasaanku? Pentingkah aku? Kurasa tidak.
Ah, andai rasa sukaku tak berkembang. Andai aku hanya menganggapnya sebagai kawan. Mungkin aku tak akan sekalut ini. Tak akan merasa sakit meski ia berdua dengan kekasihnya. Tak akan memandangi namanya di layar hapeku. Dan tak pernah mengharap satu pesan muncul darinya.
Jika suka tak bisa dicegah, siapa yang harus kusalahkan? Dia? Yg tak pernah tau bahwa rasa sukaku melesat terlalu pesat.
Aku? Yg tak pernah berencana menyukainya sedikitpun.
Atau rasa sukaku? Yg tak pernah memilih kepada siapa ia berlabuh.
Ah, sudahlah. Mungkin Tuhan punya rencana yg lebih indah.
Memang ada saatnya Tuhan memberikan bahagia, dan ada saatnya Dia memberi duka.