Dua bulan berlalu dan aku masih memikirkanmu. Menapaki jejak-jejakmu di kota ini. Menyusuri jalan-jalan setapak yg sering kau lalui, atau bahkan meminum kopi di sudut kafe yg sering kau kunjungi.
Aku mulai menyukai kegiatan ini. Rasanya seperti mengulang-ulang segala sesuatu yg kita lakukan dulu. Dan rasanya kamu masih disisiku.
Kau tahu? Aku sebenarnya benci ketika kau pergi. Aku selalu ditanya tentangmu oleh semua orang. Aku tak tahu harus menjawab apa. Dan akhirnya hanya bisa kujawab dengan senyum tipis dari bibirku, meski hal itu selalu berakhir dengan tangisan kala aku sendirian.
Oiya, kau ingat bunga matahari yg kau berikan padaku dulu? 4 minggu lalu ia berbunga. Indah.
"Bunga matahari ini pasti akan seindah kamu kalau udah mekar." Katamu dulu.
Percuma. Kata-kata itu tak akan ku dengar lagi.
Dua minggu yg lalu, aku pulang ke rumah. Ada salam rindu untukmu, dari ibuku. Kau ingat? Kau paling suka mencium aroma kopi yg baru ditumbuk oleh ibuku. Kau bilang "ini aroma kopi yg paling harum yg pernah kutemukan." Kau pintar sekali mengambil hati ibuku.
Aku juga pergi ke sawah belakang rumah. Padi disana mulai menguning. Kau dulu selalu bilang, "Suatu hari nanti, aku ingin menjadi petani. Tinggal di desa, dan menanam padi di sawah kita." Ada kata kita dikalimatmu. Ah, aku mulai menghayal tentang masa depan kita.
Tentang sebuah rumah sederhana dengan halaman yg luas. Dengan dua anak yg selalu ceria. Aku benar-benar merindukanmu.
Anw, bagaimana kabarmu sekarang? Dimanapun kamu, aku ingin bertemu. Melepas rindu yg membelenggu.
Minggu lalu setelah aku pulang, aku mampir ke kosanmu. Aku bertemu pak Torro. Dia masih saja sibuk dengan burung-burung peliharaannya. Dia juga bercerita panjang lebar tentang kamu. Tentang kebiasaanmu yg selalu menyeduh kopi di teras kosan sambil membaca koran yang hari terbitnya sudah berhari-hari lewat.
"Biar terlihat intelect, pak." Sahutmu ketika pak Torro menanyaimu tentang kebiasaanmu itu.
Pak torro juga bercerita. Ia pernah mencicipi kopi buatanmu, sekali. Ia bilang ia tak mau lagi memintanya. Katanya kopimu sangat pahit. Seperti tak diberi gula. Kamu kan memang tak suka gula.
Katamu,"Aku gak perlu gula, toh ada kamu yg jadi gulaku." Kau memang pintar menggombal, Mas.
Lalu sorenya, setelah dari kostmu. Aku pergi ke warung bu Roni. Membeli makanan kesukaanmu. Sepiring nasi pecel, sepotong hati ayam, tempe, dan rempeyek. Rasa masakan bu Roni masih sama enaknya dengan saat pertama kali kau ajak aku kesana.
"Loh. Tumben sendirian neng. Mas Sakanya gak diajak?" Hatiku terasa dihantam batu besar.
"Enggak bu." Aku tersenyum.
Tiba-tiba air mataku menetes. Mengingat lagi semua tentangmu. Tentang kita. Tentang tempat yang sering kita kunjungi bersama. Tentang kebiasaan yg sering kita lakukan bersama. Ah, aku makin merindukanmu.
Kau punya janji yg belum kau tepati, mas. Katanya kau akan mengajakku melihat indahnya danau Ranu Kumbolo. Melihat indahnya Indonesia. Kau jahat, mas. Kau pergi tanpa menepati janjimu. Aku membencimu. Isak tangisku makin kencang saat aku ingat terakhir kali aku menemuimu.
Katamu,"Aku benar-benar ingin menghabiskan masa hidupku sama kamu. Menghabiskan masa tua kita bersama. Meski aku sekarang belum punya apa-apa, aku janji bakal bahagiain kamu. Nggak bikin kamu nangis melulu. Biar nggak cengeng." Katamu mencibir.
"Kapan aku cengeng? Aku kan nggak pernah nangis." Aku menggodamu.
"Haa? Yakin nggak pernah nangis? Noh, kapan hari siapa ya yang matanya bengkak pagi-pagi?"
"Itu bukan karena nangis, mas." Aku masih saja membela diri.
"Iya iya, bukan nangis melainkan disengat lebah. Hahaha. Aww" Kucubit keras dipinggangmu. Kau hanya meringis.
"Sakit tau, dicubit. Sini gantian."Aku lari menghindarimu sambil tertawa.
Kau memang selalu menyebalkan, tapi aku menyukaimu. Selalu.
Oiya mas, aku lupa memberitahumu. Aku sudah dapat pekerjaan. Di sebuah perusahaan asing, tambang minyak.
Kau ingat? Jika aku dapat pekerjaan, kau berjanji akan mengabulkan satu permintaanku. Jika kau ingin tahu, pintaku cuma satu, mas. Tetaplah di sisiku. Bersamaku, hingga kita tua. Hanya itu. Iya, hanya itu mas. Tetaplah disini. Aku semakin menangis menjadi. Dadaku sesak. Aku mengingat-ingat lagi kata terakhirmu malam itu.
"Aku ingin pulang, Nan. Aku merindukanmu. Benar-benar rindu. Nggak tau kenapa, aku pengen peluk kamu. Aku mencintaimu, Nan. Selalu"
Dan kamu memang benar-benar pulang mas, pulang dengan wajah pucat, berbalut kain putih, dan suara sirine ambulance yang mengaung. Kamu pulang tanpa memberi pelukan untukku. Kau jahat, mas. Tapi aku mencintaimu. Selalu.
No comments:
Post a Comment