Hidupku tak lagi sama. Itu yang aku rasakan. Aku baru saja menamatkan sekolahku di tingkat menengah atas. Hidupku tak lagi sama dengan hidupku yang dahulu. Dulu, aku masih bisa tersenyum, tertawa, meski kadang aku tetap menangis tapi sekarang hariku hanya dipenuhi dengan tangis, keluhan, dan kadang kebencian.
Beberapa tahun yang lalu aku mengenalnya.
Lelaki yang kini hadir di hidupku. Aku mengenalnya dari seorang sahabat. Saat aku mengenalnya, aku sudah berdua, dengan kekasih lama yang ku kenal sejak Sekolah Menengah Pertama. Saat itu, aku biasa saja. Aku hanya menganggapnya teman. Ya, hanya sebatas kami saling kenal tanpa melibatkan masalah hati. Tidak lebih. Sebulan berlalu, hubungan kami semakin dekat. Ia mengerti keadaanku, ia mengayomiku. Mungkin karena ia lebih tua beberapa tahun dariku. Maklum, aku sudah ditinggal Bapakku lebih dari 3 tahun. Aku merindukan sosok dewasa yang bisa menggantikan sosok kebapakan dalam hidupku. Dan takdir mempertemukan aku dengannya.
Lelaki yang kini hadir di hidupku. Aku mengenalnya dari seorang sahabat. Saat aku mengenalnya, aku sudah berdua, dengan kekasih lama yang ku kenal sejak Sekolah Menengah Pertama. Saat itu, aku biasa saja. Aku hanya menganggapnya teman. Ya, hanya sebatas kami saling kenal tanpa melibatkan masalah hati. Tidak lebih. Sebulan berlalu, hubungan kami semakin dekat. Ia mengerti keadaanku, ia mengayomiku. Mungkin karena ia lebih tua beberapa tahun dariku. Maklum, aku sudah ditinggal Bapakku lebih dari 3 tahun. Aku merindukan sosok dewasa yang bisa menggantikan sosok kebapakan dalam hidupku. Dan takdir mempertemukan aku dengannya.
Tapi sepertinya Tuhan punya rencana lain
terhadap kami. Ibuku, tak pernah merestui hubungan kami.
“Dia belum punya pekerjaan tetap, Ra.”
Kata ibuku suatu hari.
“Aku tidak peduli, Bu. Toh aku
menyayanginya, dia menyayangiku. Kurasa itu sudah cukup bagi kami.” Elakku
dengan sengit.
“Ibu tidak melarangmu menjalin hubungan
dengannya, asal ia punya pekerjaan tetap. Ibu ndak mau hidup anak ibu sengsara.
Cukup ibu saja yang merasakannya, Ra.” Ibuku menetesken air mata.
Rasanya sedih ketika melihat Ibuku harus
menangis karenaku. Tapi aku harus memilih.
“Aku hanya ingin bahagia, Bu.
Bersamanya. Aku tidak ingin apapun selain bersamanya.” Aku memilih tetap
bertahan dengannya meski ibu tak pernah menyetujuinya.
Sejak percakapan itu, aku menjauh dari
Ibu. Biasanya aku akan bergurau, membicarakan apapun dengan Ibuku setiap sore,
tapi sore itu tak ada gurau, yang ada hanya tangisan antara aku dan Ibuku.
Seminggu kemudian aku memutuskan untuk meninggalkan rumah. Aku pergi ke rumah
nenekku. Berharap ada kebebasan disana. Berharap tak ada yang melarang hubunganku
dengannya.
Kuakui, aku benar-benar mendapat
kebebasan. Nenekku bukan seorang yang berani melarangku, apapun yang aku
kerjakan. Aku bebas untuk pergi kemanapun. Aku bebas untuk keluar rumah, bahkan
saat malam hari. Atau bahkan aku bebas untuk menerima tamu lelaki sebanyak yang
aku mau.
Hubunganku dengannya menjadi semakin
dekat. Ia mencintaiku dan akupun demikian. Rasanya hidupku hanya untuknya dan
aku rela melepaskan segalanya, untuknya. Enam bulan berlalu, tak ada yang
berubah. Aku masih saja dengannya dan ibuku masih tak merestui kami. Aku
kecewa. Ibuku yang kuharapkan mengerti tentang keinginanku, malah tak merestui
hubungan kami. Kekecewaanku membuatku memberontak. Aku tak lagi jadi anak baik
yang selalu menuruti apa kata ibuku. Aku tak lagi jadi gadis pendiam yang
terbiasa di rumah. Tapi aku tak seliar gadis-gadis kota yang biasa pergi malam
dan pulang hampir subuh.
Dan suatu hari, ibuku mencercaku dengan
berbagai pertanyaan.
“Ra, jawab ibu dengan jujur. Kamu kenapa
telat datang bulan?” Pertanyaan ibuku menusukku.
“Ya, nggak tahu bu. Stress mungkin.”
Jawabku tak acuh.
“Kamu nggak melakukan ‘itu’ kan?” Aku
tahu kemana arah pertanyaan ibuku.
“Enggak.” Jawabku singkat.
Pertanyaan ibuku seperti menghantam
kepalaku. Aku benci ditanyai seakan-akan aku melakukan kesalahan. Aku tak
salah. Aku mencintainya, dan ia mencintaiku tapi ibu tetap tak merestui kami.
Beberapa minggu kemudian, ibu menanyaiku
dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Aku lelah. Aku jengah.
“Jawab ibu, nak. Kamu melakukan ‘itu’
sama dia apa ndak?” Ibuku menangis dihadapanku, menahan teriakan kemarahan.
“Dia akan tanggung jawab. Bu.” Kulihat raut
wajah ibu berubah. Tetesan air mata mengalir di pipinya. Ia keluar dari kamarku
dengan luka yang tak pernah aku tahu.
Keesokan harinya, keluarga pacarku datang.
Melamarku. Kakekku tentu saja menolaknya. Alasannya klasik. Ia ingin aku
bekerja, untuk membantu keuangan ibuku. Lalu, lusanya mereka datang lagi.
“Sebelumnya saya minta maaf, bu.” Ibu
lelakiku memulai pembicaraan.
“Saya juga minta maaf, bu. Saya ingin
Naira bekerja dulu buat bantu-bantu ibunya.” Nenekku mengungkapkan
keinginannya.
“Saya tahu, bu. Tapi Naira sudah telat 3
bulan.” Nenekku hanya diam. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya saat itu.
Matanya seperti menunjukkan kesedihan, tapi juga ada kemarahan disana.
Aku ingat, beberapa hari setelah
keluarga lelakiku meminangku dulu, aku marah besar. Aku kira keluargaku masih
saja tak suka dengan lelakiku itu, aku kira mereka masih saja tak ingin aku
menikahinya. Aku menangis saat itu. Meradang, mencaci, tapi aku juga bersedih.
Aku takut, takut jika anakku lahir tanpa seorang bapak. Aku khawatir, khawatir
jika aku melahirkan tanpa didampingi orang yang kusayang.
Dan aku hanya bisa mencaci saat itu.
Pintu ruang depan kukunci. Aku menangis keras. Ibuku sempat mengetuk pintu
bahkan hendak mendobraknya, ia berteriak. Kesal.
“Buka pintunya Ra! Kamu itu kenapa? Ibu
nggak marah-marah, kamu kenapa ngambek gitu.” Teriak ibuku dari luar pintu,
sambil masih berusaha membukanya.
Aku kalap. Aku kesal. Ibu tidak pernah
mengerti keinginanku.
“Ibu pergi saja! Naira benci sama ibu.
Ibu nggak ngerti apa keinginan Naira. Pergi dari sini! Ibu matipun aku rela!”
Hardikku kasar pada wanita yang melahirkanku.
“Istighfar nak, istighfar. Kamu itu cuma
punya ibu. Kalau kamu butuh apa-apa pasti larinya ke ibu. Kenapa kamu tega
bicara seperti itu nak?”
Aku dengar suara ibuku, menangis. Aku
tak bisa berfikir jernih saat itu. Yang kutahu keluargaku tak mendukungku untuk
menikah dengan lelakiku.
Andai saat itu aku tahu, bahwa ibu dan
keluargaku menyetujui dan merestui kami suatu hari, aku tak akan meneriaki
ibuku bahkan menyuruhnya mati. Aku bersalah. Aku berdosa. Dan aku hanya bisa
meminta maaf, meminta do’a tulus dari seorang ibu yang membesarkanku seorang
diri. Semoga keluargaku menjadi keluarga kecil yang harmonis. Semoga anakku
tidak melakukan kesalahan seperti yang kulakukan.
Hari ini aku duduk bersanding dengannya,
menghadap penghulu yang akan menikahkan kami. Kebaya putih sederhana membalutku
pagi ini. Aku tak berharap banyak pada pernikahanku, yang kumau hanya
dinikahinya. Urusan rumah tangga, keuangan dan segala macam tetek bengeknya
tentang rumah tangga akan kupikirkan belakangan. Hari ini aku cukup bahagia.
Ibuku merestui kami, akhirnya. Kulihat ibuku menyeka air mata di sudut ruang
itu. Ia menangis, entah apa yang dirasakannya. Mungkin ia sedih, anak perawan
yang dulu ia banggakan, kini harus pergi. Atau mungkin ia marah, karena anak
yang dulu ia andalkan, harus hilang tanpa memberi apapun selain kesedihan.
Apapun itu, ini bukanlah kesalahan ibuku yang melahirkanku, tapi hidupku adalah
bagian skenario Tuhan dan aku harus menjalaninya.
No comments:
Post a Comment