It’s good having
a new nephew but it’s not good being called “auntie”.
Itu pikiran pertama yang menghinggapiku ketika salah
seorang sahabatku mengabarkan bahwa anak pertamanya telah lahir dengan selamat.
Aku bahagia, pasti. Dia salah satu sahabat terbaikku, meski aku sering beradu argumen
dengannya. Kami individu yang sangat berbeda.
Jika ia selalu menceritakan apapun kepadaku, aku malah sebaliknya. Aku tahu segalanya tentang dia. Pacar? Keluarga? Uang? Bahkan soal lelaki yang ia temui di bus.
Jika ia selalu menceritakan apapun kepadaku, aku malah sebaliknya. Aku tahu segalanya tentang dia. Pacar? Keluarga? Uang? Bahkan soal lelaki yang ia temui di bus.
Pernah suatu pagi, ia datang kekamar kostku sambil
membawa sekotak es krim dan mata sembab. Tanpa kutanya, ia sudah bercerita panjang
lebar tentang masalahnya. Saat itu sepertinya dia sedang patah hati, oleh pria
yang dikenalnya lewat dunia maya –twitter–. Aku hanya mendengarkan dan sesekali
menimpalinya dengan gurauan, aku tak pernah bisa sangat serius dalam berbagai
hal. Dia menghabiskan sekotak es krim pagi itu. Seperti itulah dia. Terkadang
emosinya bisa meluap-luap seperti kobaran api. Dan aku sebaliknya, aku jarang
bercerita tentang masalahku. Aku hanya menceritakan masalahku secara umum.
Karena bagiku, ada beberapa hal privasi yang tak bisa kuceritakan kepada orang
lain bahkan kepada sahabatku sendiri.
Sebenarnya sahabatku ini sering protes untuk masalah
itu. Katanya aku curang karena tak mau berbagi cerita dengannya, padahal dia
sudah bercerita banyak tentang apapun. Aku hanya tertawa terbahak menanggapi
protesnya. Kita memang berbeda. Tapi persahabatan menyatukan kita.
Aku sering bertengkar dengannya. Meributkan masalah
yang sepele. Ketika sudah rebut, salah satu diantara kami akan diam, tapi lima
atau sepuluh menit kemudian kami akan berbaikan. Begitulah hidup kami.
Bertengkar lalu berbaikan, hampir setiap hari. Tapi kami menyukainya.
Hanya dia yang sering tertawa jika aku sudah memulai
kegilaanku. Dia sering terpingkal jika aku melakukan kebodohan, di tengah jalan
ketika kami mengendarai motor atau bahkan ketika kami berbelanja di salah satu supermarket
terdekat. Dan yang pasti hanya dia yang suka masakanku, karena memang hanya dia
yang serumah kontrakan denganku.
Sebenarnya bagiku hubunganku dengannya hubungan simbiolis mutualisme. Aku diuntungkan
dengan kehadirannya, dan dia diuntungkan dengan kehadiranku. Kita saling
menguntungkan.
Meskipun kami dekat, tapi kadang aku juga sebal
dengan sifat egoisnya. Kadang ia tak sepaham denganku. Ketika aku berpikir
bahwa sifat sosial itu penting, dia malah acuh terhadap segala sesuatu. Tapi
dia juga kadang sebal dengan sifatku yang selalu bermalasan hingga rumah
kontrakan kami seperti kapal kecil yang pecah dan amburadul. Kalau sudah
seperti itu, kami hanya bisa saling memaklumi. Aku menerima keacuhannya dan dia
menerima kemalasanku meski kadang dia mengomel seperti ibuku.
Teman-teman dikampusku bilang kalau kita sahabat
yang kompak. Mereka tak pernah tahu kalau kita hampir setiap hari beradu
argumen. Kita selalu meributkan hal kecil yang sebenarnya sangat tidak penting.
Tapi kami menikmati kebersamaan kami. Karena hubungan kami yang sangat dekat, pernah
seorang teman bertanya kepada kami “You
are not lesbian, aren’t you?” Mukaku dan mukanya langsung merah padam,
bukan karena kami malu tapi kami marah. Kedekatan kami dianggap hal yang tidak
wajar. Kami memang dekat, but we are straight.
Kami masih mencintai laki-laki. Dia punya pacar. Meski aku tak punya, aku masih
menyukai laki-laki dan salah tingkah ketika dekat laki-laki yang kusukai. Jadi
jangan anggap kedekatan kami sebagai sebuah cinta sesama jenis, kami pasti tak
suka.
Sekarang sahabatku sudah menjadi ibu. Ibu dari
seorang bayi laki-laki. Jujur, status ibu rumah tangga itu memisahkan kami. Aku
sibuk dengan kuliahku dan dia sibuk dengan keluarganya. Tapi kami tetap saling
berkomunikasi. Aku ingat komunikasi terakhir kami tentang calon nama anaknya.
Awalnya dia berencana memberi nama anaknya “ Indra Fahlefi “ tapi aku menolak.
Kubilang jika ia tetap memakai fahlefi dalam nama anaknya aku tak akan
memanggil anak itu dengan nama “Lefi”. Aku akan memanggil dengan banyak nama
yang keluar dari mulutku. Dan ia menyerah. Ia menyuruhku mencarikan sebuah
nama, kuusulkan “Pradipta”, dan ia menyetujuinya. Ia bilang namanya menjadi
Pradipta Indra Mahardhika. Aku setuju-setuju saja asal tak ada nama Fahlefi
disana. Aneh? Memang. Aku bukan ibu dari anaknya, dan bukan pula bapaknya tapi
aku mencampuri pemberian nama anak itu. Begitulah kedekatan kami jika kau ingin
tahu.
Dan kemarin, tepat pukul 11 malam tanggal 23 Mei,
seorang bayi laki-laki terlahir dari rahimnya. Aku turut bahagia, meski nanti
aku akan dipanggil auntie. Oiya, terakhir kali aku mengiriminya sms, dia bilang
nama anaknya sekarang tanpa memakai Indra, terlalu panjang katanya. Namanya
Pradipta Mahardhika. Semoga bayinya kelak bisa menjadi pembawa bahagia bagi
keluarga kecilnya bersama sahabatku dan suaminya.
simbiosis sayaanngg,bukan simbiolis... xD
ReplyDeletein general, i really like it..keep writing Markonah sayang.. *bighug
bah salaah :p
ReplyDeletematur nuhun :*